Peraturan dan
Regulasi Etika Profesionalisme TSI
Telah lahir suatu rezim hukum baru yang dikenal dengan hukum cyber atau
hukum telematika. Cyberlaw, secara internasional digunakan untuk istilah hukum
yang terkait dengan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi. Demikian pula,
hukum telematika yang merupakan perwujudan dari konvergensi hukum
telekomunikasi, hukum media, dan hukum informatika. Istilah lain yang juga
digunakan adalah hukum teknologi informasi (law of information technology),
hukum dunia maya (virtual world law), dan hukum mayantara.
Yang kita ketahui di Indonesia terdapat UU ITE, UU No. 11 tahun 2008,
terdiri dari XIII bab dan 54 Pasal. Ini adalah undang-undang yang membahas
tentang informasi dan transaksi elektronik.
Undang-Undang tersebut memiliki jangkauan yurisdiksi tidak semata-mata
untuk perbuatan hukum yang berlaku di Indonesia dan/atau dilakukan oleh warga
negara Indonesia, tetapi juga berlaku untuk perbuatan hukum yang dilakukan di
luar wilayah hukum (yurisdiksi) Indonesia baik oleh warga negara Indonesia
maupun warga negara asing atau badan hukum Indonesia maupun badan hukum asing
yang memiliki akibat hukum di Indonesia, mengingat pemanfaatan Teknologi
Informasi untuk Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik dapat bersifat
lintas teritorial atau universal.
Perbedaan cyberlaw diberbagai Negara :
1.
Cyberlaw
di Indonesia
Inisiatif untuk
membuat “cyberlaw” di Indonesia sudah dimulai sebelum tahun 1999. Fokus utama waktu
itu adalah pada “payung hukum” yang generik dan sedikit mengenai transaksi
elektronik. Karena sifatnya yang generik, diharapkan rancangan undang-undang
tersebut cepat diresmikan dan kita bisa maju ke yang lebih spesifik. Namun pada
kenyataannya hal ini tidak terlaksana.
Untuk hal yang
terkait dengan transaksi elektronik, pengakuan digital signature sama seperti
tanda tangan konvensional merupakan target. Jika digital signature dapat
diakui, maka hal ini akan mempermudah banyak hal seperti electronic commerce
(e-commerce), electronic procurement
(e-procurement), dan berbagai transaksi elektronik lainnya.
Namun ternyata
dalam perjalanannya ada beberapa masukan sehingga hal-hal lain pun masuk ke
dalam rancangan “cyberlaw” Indonesia. Beberapa hal yang mungkin masuk antara
lain adalah hal-hal yang terkait dengan kejahatan di dunia maya (cybercrime),
penyalahgunaan penggunaan komputer, hacking,
membocorkan password, electronic banking, pemanfaatan internet untuk
pemerintahan (e-government) dan kesehatan, masalah HaKI, penyalahgunaan nama
domain, dan masalah privasi. Penambahan isi disebabkan karena belum ada
undang-undang lain yang mengatur hal ini di Indonesia sehingga ada ide untuk
memasukkan semuanya ke dalam satu rancangan. Nama dari RUU ini pun berubah dari
Pemanfaatan Teknologi Informasi, ke Transaksi Elektronik, dan akhirnya menjadi
RUU Informasi dan Transaksi Elektronik.
Ada satu hal yang
menarik mengenai rancangan cyberlaw ini yang terkait dengan teritori. Misalkan
seorang cracker dari sebuah negara Eropa melakukan pengrusakan terhadap sebuah
situs di Indonesia. Dapatkah hukum kita menjangkau sang penyusup ini? Salah
satu pendekatan yang diambil adalah jika
akibat dari aktivitas cracking nya terasa di Indonesia, maka Indonesia berhak
mengadili yang bersangkutan. Apakah kita akan mengejar cracker ini ke luar
negeri? Nampaknya hal ini akan sulit dilakukan mengingat keterbatasan sumber
daya yang dimiliki oleh kita. Yang dapat kita lakukan adalah menangkap cracker
ini jika dia mengunjungi Indonesia. Dengan kata lain, dia kehilangan kesempatan/hak
untuk mengunjungi sebuah tempat di dunia. Pendekatan ini dilakukan oleh Amerika
Serikat.
2.
Cyber
Law di Malaysia
Lima cyberlaws
telah berlaku pada tahun 1997 tercatat di kronologis ketertiban. Digital
Signature Act 1997 merupakan Cyberlaw pertama yang disahkan oleh parlemen
Malaysia. Tujuan Cyberlaw ini, adalah untuk memungkinkan perusahaan dan
konsumen untuk menggunakan tanda tangan elektronik (bukan tanda tangan tulisan
tangan) dalam hukum dan transaksi bisnis. Computer Crimes Act 1997 menyediakan
penegakan hukum dengan kerangka hukum yang mencakup akses yang tidak sah dan
penggunaan komputer dan informasi dan menyatakan berbagai hukuman untuk
pelanggaran yang berbeda komitmen. Para Cyberlaw berikutnya yang akan berlaku
adalah Telemedicine Act 1997. Cyberlaw ini
praktisi medis untuk memberdayakan memberikan pelayanan medis/konsultasi
dari lokasi jauh melalui menggunakan
fasilitas komunikasi elektronik seperti konferensi video. Berikut pada adalah Undang-Undang Komunikasi dan
Multimedia 1998 yang mengatur konvergensi komunikasi dan industri multimedia
dan untuk mendukung kebijakan nasional ditetapkan untuk tujuan komunikasi dan
multimedia industri. The Malaysia Komunikasi dan Undang-Undang Komisi
Multimedia 1998 kemudian disahkan oleh parlemen untuk membentuk Malaysia Komisi
Komunikasi dan Multimedia yang merupakan peraturan dan badan pengawas untuk mengawasi pembangunan dan
hal-hal terkait dengan komunikasi dan industri multimedia.
Departemen Energi,
Komunikasi dan Multimedia sedang dalam proses penyusunan baru undang-undang
tentang Perlindungan Data Pribadi untuk mengatur pengumpulan, kepemilikan,
pengolahan dan penggunaan data pribadi oleh organisasi apapun untuk memberikan
perlindungan untuk data pribadi seseorang dan dengan demikian melindungi
hak-hak privasinya. Ini to be undang yang berlaku didasarkan pada sembilan
prinsip-prinsip perlindungan data yaitu
:
§
Cara
pengumpulan data pribadi
§
Tujuan
pengumpulan data pribadi
§
Penggunaan
data pribadi
§
Pengungkapan
data pribadi
§
Akurasi
dari data pribadi
§
Jangka
waktu penyimpanan data pribadi
§
Akses
ke dan koreksi data pribadi
§
Keamanan
data pribadi
§
Informasi
yang tersedia secara umum.
3.
Council
of Europe Convention on Cyber crime (Eropa)
Saat ini berbagai
upaya telah dipersiapkan untuk memerangi cybercrime. The Organization for
Economic Co-operation and Development (OECD) telah membuat guidelines bagi para
pembuat kebijakan yang berhubungan dengan computer-related crime, di mana pada
tahun 1986 OECD telah mempublikasikan laporannya yang berjudul Computer-Related
Crime: Analysis of Legal Policy. Laporan ini berisi hasil survey terhadap
peraturan perundang-undangan
Negara-negara Anggota beserta rekomendasi perubahannya dalam menanggulangi
computer-related crime tersebut, yang mana diakui bahwa sistem telekomunikasi
juga memiliki peran penting dalam kejahatan tersebut. Melengkapi laporan OECD,
The Council of Europe (CE) berinisiatif melakukan studi mengenai kejahatan
tersebut. Studi ini memberikan guidelines lanjutan bagi para pengambil
kebijakan untuk menentukan tindakan-tindakan apa yang seharusnya dilarang
berdasarkan hukum pidana Negara-negara Anggota, dengan tetap memperhatikan
keseimbangan antara hak-hak sipil warga negara dan kebutuhan untuk melakukan
proteksi terhadap computer-related crime tersebut. Pada perkembangannya, CE
membentuk Committee of Experts on Crime in Cyberspace of the Committee on Crime
Problems, yang pada tanggal 25 April 2000 telah mempublikasikan Draft
Convention on Cyber-crime sebagai hasil kerjanya , yang menurut Prof. Susan Brenner
dari University of Daytona School of Law, merupakan perjanjian internasional pertama yang
mengatur hukum pidana dan aspek proseduralnya untuk berbagai tipe tindak pidana
yang berkaitan erat dengan penggunaan komputer, jaringan atau data, serta berbagai
penyalahgunaan sejenis. Dari berbagai upaya yang dilakukan tersebut, telah
jelas bahwa cybercrime membutuhkan global action dalam penanggulangannya
mengingat kejahatan tersebut seringkali bersifat transnasional. Beberapa
langkah penting yang harus dilakukan setiap negara dalam penanggulangan cybercrime adalah:
1)
Melakukan
modernisasi hukum pidana nasional beserta hukum acaranya, yang diselaraskan
dengan konvensi internasional yang terkait dengan kejahatan tersebut.
2)
Meningkatkan
sistem pengamanan jaringan komputer nasional sesuai standar internasional.
3)
Meningkatkan
pemahaman serta keahlian aparatur penegak hukum mengenai upaya pencegahan,
investigasi dan penuntutan perkara-perkara yang berhubungan dengan cybercrime.
4)
Meningkatkan
kesadaran warga negara mengenai masalah cybercrime serta pentingnya mencegah kejahatan tersebut
terjadi.
5)
Meningkatkan
kerjasama antar negara, baik bilateral, regional maupun multilateral, dalam
upaya penanganan cybercrime, antara lain melalui perjanjian ekstradisi dan
mutual assistance treaties.
Ruang Lingkup UU tentang Hak Cipta
Hak eklusif bagi pencipta atas pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan
atau memperbanyak ciptaanya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak
mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku adalah pengertian HAK CIPTA menurut pasal 1 UU no 19 Th 2002.
Pencipta adalah seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama yang atas
aspirasinya melahirkan suatu ciptaan berdasarkan kemampuan pikiran, imajinasi,
kecekatan, ketrampilan atau keahlian yang dituangkan kedalam bentuk yang khas
dan bersifat pribadi. Ciptaan adalah hasil setiap karya pencipta yang
menunjukkan keasliannya dalam lapangan ilmu pengetahuan, seni atau sastra. Pemegang
Hak Cipta adalah pencipta sebagai pemilik hak cipta, atau pihak yang menerima
hak tersebut dari Pencipta atau pihak lain yang menerima lebih lanjut hak dari
pihak yang menerima hak tersebut.
Pendaftaran Hak Cipta di Indonesia
Di Indonesia, pendaftaran ciptaan bukan merupakan suatu keharusan bagi
pencipta atau pemegang hak cipta, dan timbulnya perlindungan suatu ciptaan
dimulai sejak ciptaan itu ada atau terwujud dan bukan karena pendaftaran. Namun
demikian, surat pendaftaran ciptaan dapat dijadikan sebagai alat bukti awal di
pengadilan apabila timbul sengketa di kemudian hari terhadap ciptaan. Sesuai
yang diatur pada bab IV Undang-undang Hak Cipta, pendaftaran hak cipta
diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (Ditjen HKI),
yang kini berada di bawah [Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia].
Pencipta atau pemilik hak cipta dapat mendaftarkan langsung ciptaannya
maupun melalui konsultan HKI. Permohonan pendaftaran hak cipta dikenakan biaya
(UU 19/2002 pasal 37 ayat 2). Penjelasan prosedur dan formulir pendaftaran hak
cipta dapat diperoleh di kantor maupun
[http://www.dgip.go.id/article/archive/9/ situs web] Ditjen HKI. “Daftar Umum
Ciptaan” yang mencatat ciptaan-ciptaan terdaftar dikelola oleh Ditjen HKI dan
dapat dilihat oleh setiap orang tanpa dikenai biaya.
Ciptaan yang dapat dilindungi
Ciptaan yang dilindungi hak cipta di Indonesia dapat mencakup misalnya
buku, program komputer, pamflet, perwajahan (lay out) karya tulis yang
diterbitkan,ceramah, kuliah, pidato, alat peraga yang dibuat untuk kepentingan
pendidikan dan ilmu pengetahuan, lagu atau musik dengan atau tanpa teks,
drama,drama musikal, tari, koreografi, pewayangan, pantomim, seni rupa dalam
segala bentuk (seperti seni lukis, gambar, seni ukir, seni kaligrafi, seni
pahat, seni patung, kolase, dan seni terapan), arsitektur, peta, seni batik
(dan karya tradisional lainnya seperti seni songket dan seni ikat), fotografi,
sinematografi, dan tidak termasuk desain industri (yang dilindungi sebagai
kekayaan intelektual tersendiri).
Ciptaan hasil pengalihwujudan seperti terjemahan, tafsir, saduran, bunga
rampai (misalnya buku yang berisi kumpulan karya tulis, himpunan lagu yang
direkam dalam satu media, serta komposisi berbagai karya tari pilihan), dan
database dilindungi sebagai ciptaan tersendiri tanpa mengurangi hak cipta atas
ciptaan asli (UU 19/2002 pasal 12).
Fungsi dan Sifat Hak Cipta
Perbedaan hak cipta dengan hak merk dan hak paten adalah hak cipta
merupakan hak eksekutif bagi pencipta untuk mengumumkan atau memperbanyak
ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa
mengurangi pembatasan. Jika hak paten dan hak merk baru timbul hak setelah
pengumuman Dirjen HaKI.
Hak cipta dapat dialihkan atau beralih ke orang lain atau badan hukum baik
sebagian atau seluruhnya karena pewarisan, hibah, wasiat, perjanjian tertulis,
atau sebab-sebab lain yang dibenarkan oleh peraturan perundan-undangan. Hak
tersebut terus berlangsung hingga 50 (lima puluh) tahun setelah penciptanya
meninggal dunia (Pasal 29 UU No. 19 Tahun 2002)
Prosedur Pendaftaran HAKI di DEPKUMHAM
Pendaftaran
HKI
Ø Persyaratan Permohonan Hak Merek
1.
Mengajukan
permohonan ke DJ HKI/Kanwil secara tertulis dalam Bahasa Indonesia dengan
melampirkan :
·
Foto
copy KTP yang dilegalisir. Bagi pemohon yang berasal dari luar negeri sesuai
dengan ketentuan undang-undang harus memilih tempat kedudukan di Indonesia,
biasanya dipilih pada alamat kuasa hukumnya;
·
Foto
copy akte pendirian badan hukum yang telah disahkan oleh notaris apabila
permohonan diajukan atas nama badan hukum;
·
Foto
copy peraturan pemilikan bersama apabila permohonan diajukan atas nama lebih
dari satu orang (merek kolektif);
·
Surat
kuasa khusus apabila permohonan pendaftaran dikuasakan;
·
Tanda
pembayaran biaya permohonan;
·
25
helai etiket merek (ukuran max 9×9 cm, min. 2×2 cm);
·
Surat
pernyataan bahwa merek yang dimintakan pendaftaran adalah miliknya.
2.
Mengisi
formulir permohonan yang memuat :
·
Tanggal,
bulan, dan tahun surat permohonan;
·
Nama,
alamat lengkap dan kewarganegaraan pemohon;
·
Nama
dan alamat lengkap kuasa apabila permohonan diajukan melalui kuasa; dan;
·
Nama
negara dan tanggal penerimaan permohonan yang pertama kali dalam hal permohonan
diajukan dangan hak prioritas.
3.
Membayar
biaya permohonan pendaftaran merek.
Ø Persyaratan Permohonan Hak Cipta
1.
Mengisi
formulir pendaftaran ciptaan rangkap tiga (formulir dapat diminta secara
cuma-cuma pada Kantor.
2.
Wilayah),
lembar pertama dari formulir tersebut ditandatangani di atas materai Rp.6.000
(enam ribu rupiah).
3.
Surat
permohonan pendaftaran ciptaan mencantumkan:
·
Nama,
kewarganegaraan dan alamat pencipta;
·
Nama,
kewarganegaraan dan alamat pemegang hak cipta; nama, kewarganegaraan dan alamat
kuasa; jenis dan judul ciptaan;
·
Tanggal
dan tempat ciptaan diumumkan untuk pertama kali;
·
Uraian
ciptaan rangkap 4;
4.
Surat
permohonan pendaftaran ciptaan hanya dapat diajukan untuk satu ciptaan.
5.
Melampirkan
bukti kewarganegaraan pencipta dan pemegang hak cipta berupa fotocopy KTP atau
paspor.
6.
Apabila
pemohon badan hukum, maka pada surat permohonannya harus dilampirkan turunan
resmi akta pendirian badan hukum tersebut.
7.
Melampirkan
surat kuasa, bilamana permohonan tersebut diajukan oleh seorang kuasa, beserta
bukti kewarganegaraan kuasa tersebut.
8.
Apabila
permohonan tidak bertempat tinggal di dalam wilayah RI, maka untuk keperluan
permohonan pendaftaran ciptaan ia harus memiliki tempat tinggal dan menunjuk
seorang kuasa di dalam wilayah RI.
9.
Apabila
permohonan pendaftaran ciptaan diajukan atas nama lebih dari seorang dan atau
suatu badan hukum, maka nama-nama pemohon harus ditulis semuanya, dengan
menetapkan satu alamat pemohon.
10.
Apabila
ciptaan tersebut telah dipindahkan, agar melampirkan bukti pemindahan hak.
11.
Melampirkan
contoh ciptaan yang dimohonkan pendaftarannya atau penggantinya.
12.
Membayar
biaya permohonan pendaftaran ciptaan Rp.200.000, khusus untuk permohonan pendaftaran
ciptaan program komputer sebesar Rp.300.000
Ø Persyaratan Permohonan Pendaftaran Desain Industri
1.
Mengajukan
permohonan ke DJ HKI secara tertulis dalam Bahasa Indonesia.
2.
Permohonan
ditandatangani oleh pemohon atau kuasanya, serta dilampiri:
·
Contoh
fisik atau gambar atau foto serta uraian dari desain industri yang dimohonkan
pendaftarannya;
·
Surat
kuasa khusus, dalam hal permohonan diajukan melalui kuasa;
·
Surat
pernyataan bahwa desain industri yang dimohonkan pendaftarannya adalah milik
pemohon;
3.
Mengisi
formulir permohonan yang memuat :
·
Tanggal,
bulan, dan tahun surat permohonan;
·
Nama,
alamat lengkap dan kewarganegaraan pemohon;
·
Nama
dan alamat lengkap kuasa apabila permohonan diajukan melalui kuasa; dan
·
Nama
negara dan tanggal penerimaan permohonan yang pertama kali dalam hal permohonan
diajukan dangan hak prioritas;
4.
Dalam
hal permohonan diajukan secara bersama-sama oleh lebih dari satu pemohon,
permohonan tersebut ditandatangani oleh salah satu pemohon dengan dilampiri
persetujuan tertulis dari pemohon lain.
5.
Dalam
hal permohonan diajukan oleh bukan pendesain, permohonan harus disertai pernyataan
yang dilengkapi dengan bukti yang cukup bahwa pemohon berhak atas desain
industri yang bersangkutan.
6.
Membayar
biaya permohonan sebesar Rp.300.000,- untuk UKM (usaha kecil dan menengah) dan
Rp.600.000,- untuk non-UKM, untuk setiap permohonan.
Keterbatasan UU Telekomunikasi
Dalam Mengatur Penggunaan Teknologi Informasi
Di negara kita banyak sekali UU yang kita sendiri tidak
mengetahui persis apa isinya tetapi di sini akan dijelaskan salah satunya yaitu
UU NO.36. Keterbatasan UU Telekomunikasi Dalam Mengatur Penggunaan Teknologi
Informasi. Di dalam UU No. 36 telekomunikasi berisikan sembilan bab yang
mengatur hal-hal berikut ini ; Azas dan tujuan telekomunikasi, pembinaaan,
penyelenggaraan telekomunikasi, penyidikan, sanksi administrasi, ketentuan
pidana, ketentuan peralihan dan ketentuan penutup. Undang-Undang ini dibuat
untuk menggantikan UU No.3 Tahun 1989 tentang Telekomunikasi, karena diperlukan
penataan dan pengaturan kembali penyelenggaraan telekomunikasi nasional yang
dimana semua ketentuan itu telah di setujuin oleh DPRRI.
UU ini dibuat karena ada beberapa alasan, salah satunya
adalah bahwa pengaruh globalisasi dan perkembangan teknologi telekomunikasi
yang sangat cepat telah mengakibatkan
perubahan yang mendasar dalam penyelenggaraan dan cara pandang terhadap
telekomunikasi.
Dengan munculnya undang-undang tersebut membuat banyak
terjadinya perubahan dalam dunia telekomunikasi, antara lain :
1)
Telekomunikasi
merupakan salah satu infrastruktur penting dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara.
2)
Perkembangan
teknologi yang sangat pesat tidak hanya terbatas pada lingkup telekomunikasi
itu saja, maleinkan sudah berkembang pada TI.
3)
Perkembangan
teknologi telekomunikasi di tuntut untuk mengikuti norma dan kebijaksanaan yang
ada di Indonesia.
Apakah ada keterbatasan yang dituangkan dalam UU no.36
Telekomunikasi tersebut dalam hal mengatur penggunaan teknologi Informasi. Maka
berdasarkan isi dari UU tersebut tidak ada penjelasan mengenai batasan-batasan
yang mengatur secara spesifik dalam penggunaan teknologi informasi tersebut,
artinya dalam UU tersebut tidak ada peraturan yang secara resmi dapat membatasi
penggunaan teknologi komunikasi ini. Namun akan lain ceritanya jika kita
mencoba mencari batasan-batasan dalam penggunaan teknologi informasi berbasis
sistem komputer yang merupakan sistem elektronik yang dapat dilihat secara
virtual, maka hal tersebut diatur dalam UU No.11 Tahun 2008 tentang Informasi
dan Transaksi Elektronik terutama BAB VII tentang Perbuatan yang Dilarang.
Untuk itu kita sebagai pengguna teknologi informasi dan komunikasi harus lebih
bijak dan berhati-hati lagi dalam memanfaatkan teknologi ini dengan
memperhatikan peraturan dan norma yang ada.
Pokok Pikiran RUU ITE
Kemajuan spektakuler di bidang teknologi komputer berupa internet berdampak
besar pada globalisasi informasi yang menjadi pilar utama perdagangan dan
bisnis internasional. Teknologi informasi selalu menghadapi tantangan baru dan
selalu ada sesuatu hal baru yang perlu dpelajari agar bisa menjawab tantangan
baru yang selalu mucul dalam kurun waktu yang sangat cepat.
Hukum lahir menyertai perkembangan masyarakat untuk menjamin adanya
ketentraman hidup bermasyarakat. Demikian halnya dengan hukum perdangangan
internasional yang berbasis teknologi informasi, setiap transaksi elektronik
perlu diatur dalam suatu peraturan perundang-undangan yang baru yaitu UU
Informasi dan Transaksi Elektronik Np. 11 tahun 2008.
Pokok pikiran dalam UU Informasi dan Transaksi Elektronik
(ITE), terdapat dalam pasal – pasal di bawah ini :
·
Pasal
8 Pengakuan Informasi Elektronik
·
Pasal
9 Bentuk Tertulis
·
Pasal
10 Tanda tangan
·
Pasal
11 Bentuk Asli & Salinan
·
Pasal
12 Catatan Elektronik
·
Pasal
13 Pernyataan dan Pengumuman Elektronik
Transaksi Elektronik terdapat dalam Pasal-pasal berikut
ini :
·
Pasal
14 Pembentukan Kontrak
·
Pasal
15 Pengiriman dan Penerimaan Pesan
·
Pasal
16 Syarat Transaksi
·
Pasal
17 Kesalahan Transkasi
·
Pasal
18 Pengakuan Penerimaan
·
Pasal
19 Waktu dan lokasi pengiriman dan penerimaan pesan
·
Pasal
20 Notarisasi, Pengakuan dan Pemeriksaan
·
Pasal
21 Catatan Yang Dapat Dipindahtangankan
Dari Pasal – pasal diatas, semua adalah yang mencakup di dalam Rancangan
Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Segala aspek yang
diterapkan dalam perdagangan dan pemberian informasi melalui Elektronik sudah
dijelaskan dalam pokok pikiran RUU tersebut.
Implikasi Pemberlakuan RUU ITE
Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UUITE) mengatur berbagai
perlindungan hukum atas kegiatan yang memanfaatkan internet sebagai medianya,
baik transaksi maupun pemanfaatan informasinya. Pada UUITE ini juga diatur
berbagai ancaman hukuman bagi kejahatan melalui internet. UUITE mengakomodir
kebutuhan para pelaku bisnis di internet dan masyarakat pada umumnya guna
mendapatkan kepastian hukum, dengan diakuinya bukti elektronik dan tanda tangan
digital sebagai bukti yang sah di pengadilan.
Penyusunan materi UUITE tidak terlepas dari dua naskah akademis yang
disusun oleh dua institusi pendidikan yakni Unpad dan UI. Tim Unpad ditunjuk
oleh Departemen Komunikasi dan Informasi sedangkan Tim UI oleh Departemen
Perindustrian dan Perdagangan. Pada penyusunannya, Tim Unpad bekerjasama dengan
para pakar di ITB yang kemudian menamai naskah akademisnya dengan RUU
Pemanfaatan Teknologi Informasi (RUU PTI). Sedangkan Tim UI menamai naskah akademisnya
dengan RUU Transaksi Elektronik.
Kedua naskah akademis tersebut pada akhirnya digabung dan disesuaikan
kembali oleh Tim yang dipimpin Prof. Ahmad M Ramli SH (atas nama pemerintah),
sehingga namanya menjadi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik
sebagaimana disahkan oleh DPR.
Sumber :